Ayat Makkah Vs Ayat Madinah; Beda Gaya, Beda Misi



Ketika membaca lembaran-lembaran Al-Qur’an, kita akan menjumpai dua kategori besar dalam klasifikasi surat-suratnya: Makkiyah dan Madaniyah. Pembagian ini bukanlah tanpa alasan. Para ulama mendasarkannya pada tiga pendekatan: waktu turunnya, tempat turunnya, dan audiens atau sasaran khithab ayat. Namun, pendapat yang paling rajih menurut para ulama adalah penentuan status Makki atau Madani didasarkan pada waktu turunnya ayat—yaitu sebelum dan sesudah hijrahnya Nabi Muhammad ke Madinah.


Menariknya, Rasulullah sendiri tidak pernah menyebutkan secara eksplisit kategori ini dalam sabda beliau. Maka, sumber utama klasifikasi ini berasal dari musyāhadah (kesaksian langsung) para sahabat Nabi yang hidup yang menyaksikan langsung situasi dan keadaan turunnya ayat. Dari mereka, warisan ilmu ini sampai kepada para tabi'in dan ahli tafsir, lalu dikodifikasikan oleh para ulama Ulumul Qur’an dalam karya-karya monumental mereka.


Setiap kategori ayat memiliki gaya bahasa dan tema khas yang membedakannya. Ayat-ayat Makkiyah dikenal ringkas dan padat, sementara ayat-ayat Madaniyah cenderung lebih panjang dan detail. Struktur bahasa yang demikian ini tentu bukan tanpa maksud. Ia mencerminkan konteks dakwah, urgensi wahyu, dan kondisi sosial umat pada masing-masing fase kenabian.


Sebagaimana dinyatakan oleh az-Zarkasyi dalam al-Burhān fī ‘Ulūm al-Qur’ān:


"Al-Qur’ān nazala munajjaman, ḥasba al-wāqi’ wa al-aḥwāl."
Al-Qur’an diturunkan secara bertahap, menyesuaikan keadaan dan peristiwa yang terjadi.


Namun, pernahkah kita merenung lebih jauh: Mengapa Allah menurunkan ayat-ayat dengan gaya dan misi yang berbeda antara Makkah dan Madinah? Apakah ini menunjukkan perbedaan sumber atau tujuan?


Sayangnya, perbedaan antara ayat Makkiyah dan Madaniyah ini sering disalahpahami dan dijadikan senjata untuk menjatuhkan Islam oleh sebagian orientalis dan pemikir Barat. Mereka mengira bahwa perubahan gaya dan tema dalam Al-Qur’an adalah tanda bahwa Al-Qur’an bukan berasal dari Tuhan, tapi hanya karangan Nabi Muhammad semata. Mereka beranggapan, kalau benar dari Tuhan, seharusnya isi dan gayanya akan selalu konsisten dari awal sampai akhir.


Tentu saja tuduhan seperti ini keliru. Mereka tidak memahami bagaimana proses dakwah Islam itu berjalan, tidak tahu bahwa wahyu diturunkan secara bertahap—sesuai dengan kebutuhan umat saat itu. Justru inilah yang membedakan Al-Qur’an dengan Kitab Samawi lainnya: ia tidak turun sekaligus sebagaimana kitab-kitab sebelumnya, tapi diturunkan perlahan dan bertahap, mendidik umat selangkah demi selangkah sesuai kondisi mereka.


Dalam tulisan ini, kita akan membahas dua tuduhan utama yang sering dilontarkan para orientalis tentang ayat-ayat Makkiyah dan Madaniyah, lalu kita akan jawab satu per satu dengan bantahan ilmiah yang kuat. Lalu, kita akan lihat bahwa justru perbedaan gaya dan tema ini adalah bukti bahwa Al-Qur’an benar-benar dari Allah, bukan ciptaan manusia.


1. Ayat Makkah Pendek dan Ayat Madinah Panjang


Para orientalis kerap melontarkan tuduhan bahwa perbedaan panjang ayat antara surah-surah Makkiah dan Madaniyah menunjukkan bahwa Al-Qur’an adalah buatan Nabi Muhammad . Mereka menyatakan bahwa ketika Nabi berdakwah di Makkah, masyarakatnya dikenal kasar, tidak berakhlak, dan belum tersentuh oleh ajaran kitab samawi. Oleh karena itu, menurut mereka, Nabi Muhammad terdampak oleh lingkungan tersebut sehingga hanya mampu "mengarang" kalimat-kalimat pendek.


Sebaliknya, ketika beliau hijrah ke Madinah, masyarakatnya—terutama kalangan Yahudi dan Nasrani—merupakan ahli kitab yang dikenal lebih terpelajar. Dari mereka, kata para orientalis, Nabi Muhammad "belajar" retorika dan gaya bahasa yang lebih kompleks, sehingga ayat-ayat yang diturunkan di Madinah pun menjadi lebih panjang dan kompleks pula.


Tuduhan ini jelas menyalahi fakta sejarah dan konteks kebahasaan Arab itu sendiri. Pendeknya ayat-ayat Makkiah bukanlah cerminan keterbatasan intelektual atau linguistik Nabi Muhammad , apalagi dampak dari lingkungan yang "terbelakang". Justru sebaliknya, masyarakat Quraisy Makkah dikenal sebagai komunitas Arab yang paling fasih dan ahli dalam balaghah. Maka, pendeknya ayat-ayat Makkiah merupakan bentuk penyesuaian dengan realitas psikologis dan budaya mereka.


Lebih jauh, mayoritas ayat-ayat Makkiah berisi seruan tauhid, ancaman terhadap kekafiran, serta teguran dan nasihat yang bersifat menggugah jiwa. Karena sifatnya yang menyentuh kesadaran, ayat-ayat ini datang dengan kalimat pendek dan menggugah emosional. Kalimat panjang justru tidak efektif dalam menyasar pendengar yang keras kepala dan menolak kebenaran. Sebaliknya, kalimat-kalimat pendek lebih mudah merasuk dan menghentak.


Berbeda dengan ayat-ayat Madaniyah yang mayoritasnya berisi penjelasan hukum-hukum syariat, muamalah, jihad, dan pengorganisasian masyarakat Islam. Tema-tema seperti ini tentu membutuhkan rincian yang panjang dan sistematis. Maka, panjangnya ayat Madaniyah merupakan konsekuensi logis dari misi dakwah, bukan karena peningkatan kemampuan retorik dari Nabi .


Selain itu, justru pendeknya ayat-ayat Makkiah menjadi salah satu bentuk i‘jāz (kemukjizatan) Al-Qur’an. Allah menantang para ahli balaghah Quraisy untuk mendatangkan sesuatu yang serupa—bahkan satu surat atau beberapa ayat saja. Namun, mereka tidak mampu, meskipun mereka adalah para penyair ulung.


وَإِن كُنتُمۡ فِی رَیۡبࣲ مِّمَّا نَزَّلۡنَا عَلَىٰ عَبۡدِنَا فَأۡتُوا۟ بِسُورَةࣲ مِّن مِّثۡلِهِۦ ۖ وَٱدۡعُوا۟ شُهَدَآءَكُم مِّن دُونِ ٱللَّهِ إِن كُنتُمۡ صَـٰدِقِینَ

"Dan jika kamu (tetap) dalam keraguan tentang (Al-Qur'an) yang Kami wahyukan kepada hamba Kami, maka buatlah satu surat yang semisal dengannya dan ajaklah penolong-penolongmu selain Allah, jika kamu orang-orang yang benar."
(QS. Al-Baqarah: 23)


2. Tidak Ada Hukum Syariat dalam Ayat Makkah?


Para orientalis menuduh bahwa tidak ada hukum-hukum syariat dalam ayat-ayat Makkah. Mereka membandingkannya dengan ayat-ayat Madinah yang dianggap lebih sarat dengan hukum dan aturan. Menurut mereka, hal ini terjadi karena Nabi Muhammad pada fase Makkah belum bergaul dengan kaum yang memiliki kitab suci, sehingga beliau belum memiliki pijakan dan gambaran untuk menetapkan hukum.


Sebaliknya, ketika di Madinah, Nabi Muhammad bersentuhan dengan ahli kitab (Yahudi dan Nasrani), dan dari merekalah — menurut mereka — Nabi belajar dan mulai menciptakan syariat-syariat baru yang lebih kompleks. Tuduhan ini kemudian dilanjutkan dengan klaim bahwa Al-Qur’an adalah “produk sosial” yang menyesuaikan konteks sosial Nabi Muhammad, bukan wahyu Ilahi.


Tentu saja, tuduhan ini sangat tidak berdasar.


Pasalnya, Nabi Muhammad diutus untuk membawa petunjuk bagi seluruh manusia. Misi dakwah pertama beliau adalah menyampaikan risalah kepada masyarakat Makkah yang saat itu sedang mengalami kemerosotan moral. Penyembahan berhala, penguburan bayi perempuan, dan perzinaan terang-terangan adalah sebagian dari praktik yang telah mengakar di tengah masyarakat.


Jika syariat langsung diterapkan secara menyeluruh tanpa pendahuluan berupa perbaikan akidah, tentu akan ditolak secara keras. Oleh karena itu, pendekatan Al-Qur’an di fase Makkah lebih bersifat tarbiyah (pendidikan) dan tazkiyah (penyucian jiwa). Ayat-ayatnya berisi ajakan kepada tauhid, penanaman keimanan, serta perbaikan akhlak. Ini semua menjadi fondasi penting sebelum datangnya syariat yang lebih detail.


Inilah yang dikenal dalam Ulumul Qur’an sebagai prinsip at-tadarruj fi at-tasyri‘ (bertahap dalam penetapan hukum). Pendekatan bertahap ini bukanlah kekurangan, melainkan bentuk kebijaksanaan Ilahiah (hikmah tanzīl). Perubahan akidah dan moral harus terlebih dahulu ditanamkan sebelum diberlakukan sistem hukum secara menyeluruh.


Perlu juga dicatat bahwa ayat-ayat Makkah bukan tidak memiliki kandungan hukum sama sekali. Beberapa larangan moral seperti pembunuhan, perzinaan, pencurian, dan kedzaliman sudah disinggung dalam ayat-ayat Makkah, hanya saja belum dirinci dalam bentuk sistem hukum yang lengkap. Artinya, syariat dalam ayat Makkah masih bersifat usūliyyah dan maqāshidiyyah, yakni menyentuh nilai-nilai dasar perlindungan jiwa, akal, keturunan, dan harta.


Sementara pada fase Madinah, umat Islam telah memiliki landasan akidah yang kuat dan jumlah pemeluk yang memadai. Maka saat itulah syariat diturunkan secara lebih rinci — mencakup hukum pidana, muamalah, munakahat, dan sistem sosial yang komprehensif.


Perbedaan antara ayat-ayat Makkiyah dan Madaniyah bukanlah bukti kontradiksi ataupun hasil ciptaan manusia sebagaimana dituduhkan oleh sebagian orientalis. Justru, perbedaan ini mencerminkan betapa agung dan bijaksananya Al-Qur’an dalam membina umat manusia sesuai tingkat kesiapan, kondisi sosial, dan urgensi zaman. Setiap gaya bahasa, panjang ayat, dan tema yang diangkat adalah bagian dari kemukjizatan Al-Qur’an.


Seperti yang dinyatakan oleh guru kami, Syekh Sāmī ‘Abd al-Fattāḥ Hilāl — mantan Dekan Fakultas al-Qur’ān al-Karīm Universitas al-Azhar Tanta — setiap huruf dalam Al-Qur’an adalah mukjizat. Baik kita mengetahui rahasianya ataupun tidak, Al-Qur’an akan tetap agung.


Penulis: Ziyad Mubarok
(Mahasiswa Univ. Al Azhar, Mesir/Pemred Kristal 2019/2020). Bisa disapa via Instagram @ibn.mubarok09)

Tidak ada komentar:

Diberdayakan oleh Blogger.