Peringati Bulan Pendidikan, Perpus Al Fatih Adakan Bedah Buku Bumi Manusia


Brabo, kristalmedia.net
- Dalam rangka memperingati Hari Pendidikan Nasional, Hari Buku Nasional dan Hari Kebangkitan Nasional tahun 2025, Perpustakaan Al Fatih MA Tajul Ulum mengadakan acara Bedah Buku, pada Kamis (22/5/25). Buku yang dibedah adalah Bumi Manusia karya Pramoedya Ananta Toer, sebagai pembedah, Bapak Muhammad Nur Kholid, S.Pd., guru sejarah di MA Tajul Ulum.

Dipilihnya novel Bumi Manusia bukan tanpa alasan. Bapak Ali Mashad, S.Pd., selaku kepala Perpustakaan menjelaskan, Bumi Manusia dipilih karena sesuai dengan semangat bulan Mei, yaitu Bulan Pendidikan.

"Banyak peristiwa yang berkaitan dengan pendidikan dan sejarah bangsa terjadi di bulan Mei, di antaranya hardiknas, hari buku nasional dan harkitnas," jelasnya.

Siswa MA Tajul Ulum akan banyak belajar dari novel tersebut, di antaranya tentang sejarah perjuangan dan pembentukan identitas nasional bangsa Indonesia dan mengenal salah satu sastrawan besar Indonesia, yaitu Pramoedya Ananta Toer.

"Dari Bumi Manusia kita bisa belajar banyak hal. Tentang cerita di dalamnya, muatan sejarahnya dan juga tentang penulisnya, yaitu Pram," jelas Pak Ali Mashad.

"Tahun 2025 ini juga bertepatan perayaan 100 tahun Pramoedya Ananta Toer. Acara ini menjadi bagian upaya mengenalkan Pram dan karya-karyanya kepada siswa," lanjutnya.

Pak Ali Mashad menjelaskan, Acara Bedah Buku termasuk program Perpustakaan Al Fatih yang sudah rutin dilaksanakan sejak tahun lalu. Dengan acara semacam ini harapannya Perpustakaan akan menjadi lebih hidup, menjadi tempat diskusi dan bertukar pikiran, menjadikan siswa MA Tajul Ulum memiliki pandangan yang luas tentang dunia.

Bumi Manusia: Minke dan Identitas Nasional Indonesia

Bapak Kholid membuka diskusi dengan mengenalkan tokoh utama novel Bumi Manusia, yaitu Minke. 

"Minke adalah nama panggilan, nama aslinya Tirto Adhi Suryo atau disingkat TAS," jelas alumni Lirboyo tersebut.

TAS atau Minke, atau Sinyo adalah seorang pribumi yang berkesempatan sekolah di HBS (Hoogere Burgerschool), sekolah setingkat SMA di masa Hindia Belanda untuk anak-anak orang Belanda, Eropa, Tionghoa dan kalangan elit Pribumi. Minke bisa sekolah di HBS karena ayahnya seorang Bupati. 

Di HBS, Minke belajar banyak hal luar biasa yang merubah cara pandangnya. Pertama dia merasa kagum dengan kemajuan yang diciptakan oleh orang-orang Eropa, seperti kereta api, mobil dan es.

"Orang Eropa berhasil menciptakan es. Es itu dulu suatu hal yang luar biasa, meskipun sekarang hal yang remeh. (Ketika itu) yang bisa menggunakan es itu hanya orang-orang bangsawan," jelas Pak Kholid.

Tetapi kemudian rasa kagum Minke berubah ketika melihat perlakuan bangsa-bangsa Eropa terhadap dirinya dan orang-orang Pribumi lainnya. Minke sadar, orang Eropa adalah pendatang di Bumi Hindia Belanda, tetapi mengapa mereka menempati strata sosial tinggi. Sedangkan Pribumi adalah penduduk asli, yang justru ditindas dan seakan menjadi tamu di rumah sendiri.

"Minke mulai mempertanyakan, kita itu adalah tuan rumah, orang-orang Eropa itu tamu. Mengapa kita menjadi kelas nomor dua dan orang Eropa menjadi kelas nomor satu?" ujar Pak Kholid.

Dari pembacaan Minke terhadap realita kehidupan yang ia jalani tersebut dan pergaulannya dengan banyak orang dan banyak tokoh dalam Bumi Manusia, menjadikannya sadar bahwa perlu usaha untuk membangun kesadaran bersama tentang identitas bangsa.

Mengenal Pramoedya

Pak Kholid juga menjelaskan bahwa Bumi Manusia merupakan satu bagian dari karya Pram yang terkenal dengan nama Tetralogi Pulau Buru, yaitu Bumi Manusia, Anak Semua Bangsa, Jejak Langkah dan Rumah Kaca. Pram menulis karya monumentelnya itu ketika menjadi tahanan di Pulau Buru pada masa Orde Baru.

Pram adalah sastrawan besar Indonesia yang lahir di Blora, Jawa Tengah 100 tahun lalu. Dia anak sulung dalam keluarganya. Ayahnya, Mastoer adalah seorang guru dan anggota keompok pro kemerdekaam Budi Oetomo. Ibunya Oemi Saidah seorang ibu rumah tangga.

Pram pernah sekolah di Sekolah Kejuruan Radio di Surabaya, kemudian bekerja sebagai juru ketik di surat kabar Jepang, Domei. Pram juga pernah ikut dalam kelompok militer di Jawa dan sering ditempatkan di Jakarta pada akhir perang kemerdekaan.

Pram pernah ditahan oleh tiga pemerintahan berbeda, yaitu tiga tahun pada masa kolonial, satu tahun orde lama dan 14 tahun orde baru sebagai tahanan politik tanpa proses pengadilan.

Pram adalah sastrawan yang produktif. Ia menulis lebih dari 50 karya dan diterjemahkan ke dalam lebih dari 42 bahasa asing. Pram menganggap karya-karyanya sebagai anak rohani yang memiliki nasibnya sendiri. Beberapa karya Pram pernah dilarang beredar dan ada yang dimusnahkan. [FHM]

Tidak ada komentar:

Diberdayakan oleh Blogger.