Perempuan di Balik Monitor
Laila menatap layar laptopnya, tab-tab yang terbuka berserakan. Excel, Instagram Insight, Google Analytics, Canva, WhatsApp Web, semua saling bertabrakan seperti suara-suara
yang berdesak di kepalanya.
"Laila, tolong report mingguan kita dikirim malam ini ya. Nanti jam 9 kita review bareng Mas Rasyid."
Nada suara Mbak Nisa terdengar datar dari ujung ruangan. Tak ada penekanan. Tapi entah kenapa terasa dingin.
"Baik, Mbak."
Laila mengangguk pelan. Padahal laporan itu belum bisa rampung, engagement minggu ini turun, padahal dia sudah mencoba segala cara. Problemnya bukan hanya algoritma. Tapi kenyataan bahwa akun digital yang dia kelola tidak punya budget iklan. Tidak ada aktivasi. Tidak ada giveaway. Semua berjalan organik. Seperti mengharap tanaman tumbuh di tanah berbatu, tanpa pupuk, tanpa air.
"Kalau bagian marketplace dapet paid promo segede itu, bagianku mah apa..." gumamnya lirih, setengah pahit, setengah menghibur diri.
Dulu, waktu awal masuk, ia diberi kata-kata yang tampak meyakinkan: Kita butuh strategi digital. Kamu orang pertama di divisi ini, jadi nanti kamu yang bangun dari nol. Tunjukkan kemampuanmu.
Tapi membangun dari nol ternyata berarti bekerja sendirian. Tanpa tim. Tanpa arahan. Tanpa evaluasi yang adil. Hanya ekspektasi yang tumbuh seperti bayangan sore: panjang dan menekan.
Suatu sore, ia mendengar namanya disebut di balik kaca ruang meeting. Telinganya menangkap samar-samar percakapan antara Mas Rasyid, keponakan pemilik sekaligus calon direktur, dan Mbak Nisa.
"Aku tuh jujur aja ya Mbak, nggak nyaman kerja sama Laila."
"Kenapa emangnya? So far, dia lumayan bisa ngikutin kok."
"Ya... mungkin karena dia cewek kali ya. Jadi kayak... awkward aja gitu."
Diam-diam, Laila menarik napas panjang. Tak sampai dua menit, ia kembali menatap layar. Matanya berkaca, tapi ia tidak menangis. Air mata terlalu mahal untuk kebodohan struktural yang dikemas dalam kalimat santai.
Di rapat internal, Laila menyodorkan rencana kampanye Ramadan: konten edukatif berbasis ayat dan hadis, dipadukan dengan insight ringan dari keseharian. Ia juga menambahkan aktivasi berupa giveaway dan souvenir kecil—mug bertema Ramadan, gantungan kunci dengan kutipan ayat, dan voucher potongan harga untuk pembelian kitab.
"Tujuan utamanya bukan cuma awareness, Mas, tapi juga keterlibatan. Kita bisa rangkul segmen muda dan komunitas pengajian lewat pendekatan ini. Mereka senang hal-hal personal dan simbolik."
Mas Rasyid menyipitkan mata, menyandarkan tubuhnya ke kursi. "Souvenir? Giveaway? Ini bukan e-commerce, Lail. Budget kita nggak bisa dibuang buat hal receh yang belum tentu nambah traffic."
"Receh?" Laila menatapnya tajam. "Yang saya ajukan bukan cuma gimmick. Ini bagian dari strategi interaksi. Kontennya terhubung langsung dengan produk kita, buku-buku. Masa kita jual ilmu tapi pendekatannya kaku?"
"Justru karena kita jual ilmu, maka nggak usah ikut-ikutan gaya pasar. Apa harus semua dikemas kayak dagangan?"
Laila menghela napas, menahan nada suaranya tetap stabil. "Ini bukan soal ikut-ikutan. Ini soal relevansi. Audiens kita nggak hidup di menara gading. Mereka pakai media sosial. Mereka butuh pendekatan yang hangat, bukan sekadar kutipan ayat tanpa konteks."
Mas Rasyid tertawa pendek, tanpa senyum. "Kamu tuh mikirnya terlalu ribet. Terlalu banyak idealisme. Realitanya, kita nggak punya cukup dana buat mainan beginian. Simpel aja. Jalanin organik seperti biasa."
"Justru karena organik, Mas, harus ada sesuatu yang bisa mengikat. Tanpa iklan, tanpa paid promo, kita perlu strategi yang kuat. Bukan cuma upload-posting lalu berharap algoritma kasihan."
Mas Rasyid menatapnya beberapa detik tanpa bicara. Lalu berkata pelan, tapi tajam, "Jangan terlalu ngotot, Lail. Belajar ngerti batas juga penting."
Rapat selesai tanpa kesimpulan. Mas Rasyid keluar ruangan lebih dulu, meninggalkan bau parfum maskulin yang terlalu tajam. Laila masih duduk di kursinya, membiarkan layar presentasinya menyala, sia-sia.
Ia menatap poin-poin di slide terakhir: Engagement organik + relasi emosional = loyalitas jangka panjang. Kalimat yang tadi ia ucapkan penuh keyakinan, kini terdengar seperti lelucon sarkastik di kepalanya sendiri.
Dalam benaknya, argumen tadi terputar ulang. Suaranya sendiri. Suara Mas Rasyid. Kalimat "terlalu ribet", "jangan terlalu ngotot", dan yang paling menohok: belajar ngerti batas juga penting.
Batas? Apa yang lebih terbatas dari bekerja sendiri tanpa tim? Apa yang lebih terbatas dari anggaran yang tak pernah disetujui? Apa yang lebih terbatas dari didengarkan hanya saat mengangguk, lalu ditutup telinga ketika mengusulkan sesuatu.
Ia tak menangis. Tangis sudah terlalu sering digambarkan sebagai kelemahan. Padahal, luka tak selalu muncul dalam bentuk air mata.
Kadang ia muncul dalam bentuk tangan yang gemetar saat mengetik ulang email seolah tidak terjadi apa-apa.
Di dalam kepala Laila, hanya satu kalimat yang menggema: Kalau aku tidak cukup layak hanya karena jadi perempuan, lalu apalagi yang harus kubuktikan?
Dua minggu setelah rapat itu, suratnya datang. Bukan pengangkatan. Bukan evaluasi. Tapi satu paragraf dingin dari HR: Kontrak tidak diperpanjang dengan pertimbangan kebutuhan perusahaan dan efisiensi tim.
Tanpa penjelasan. Tanpa diskusi. Tanpa ucapan terima kasih.
Laila membacanya berulang kali. Tidak ada kata "gagal". Tidak ada kata "salah". Tapi ia tahu, di balik frasa efisiensi tim, tersimpan bias yang tak pernah diucapkan.
Ia bukan tidak cukup kompeten. Ia hanya terlalu keras kepala untuk tunduk. Terlalu percaya diri untuk diam. Terlalu perempuan untuk sistem yang nyaman dengan suara bulat dari kursi laki-laki.
Hari terakhirnya datang tanpa seremoni. Ia membereskan meja sendiri. Tak ada titipan proyek yang diwariskan, karena sejak awal, tidak ada yang benar-benar diwariskan padanya selain beban.
Di luar, langit masih kelabu. Awan tergantung seperti selalu: penuh, tapi enggan pecah. Ia berdiri sejenak di depan pintu kantor yang selama ini menahannya dalam keheningan. Lalu berjalan pelan, tanpa menoleh.
Di halte, ia membuka ponsel. Mengetik sesuatu di catatan:
Aku tidak kalah.
Aku hanya tidak dibutuhkan oleh sistem yang menganggap tunduk lebih penting dari berpikir.
Hari ini aku pulang, bukan karena kalah. Tapi karena menolak jadi bagian dari kebungkaman itu.
Bus datang. Ia naik. Menyimpan catatannya. Esok, ia akan bangun lebih pagi. Bukan untuk kantor itu. Tapi untuk rencana baru yang belum sepenuhnya ia rumuskan, tapi sudah ia yakini:
Kelak, kantor-kantor seperti itu tak lagi bisa sembunyi di balik kata 'efisiensi'. Karena perempuan akan bicara. Akan tumbuh. Dan akan bertahan, di tempat yang pantas. []
Penulis: Adha Nafi'atur Rofiah, bisa disapa di Instagram @tokosulap__
(Alumni MABTU 2018, Dewan Redaksi El Kataba 2016)
Tidak ada komentar: