Mengapa Doaku Tak Dikabulkan?



Renungan Ar-Rāzī dan Ibnu ‘Aṭā’illah tentang Hati yang Berdoa


Allah Swt. memerintahkan kita untuk selalu berdoa. Sebagaimana firman-Nya dalam Surah Ghāfir [40]: 60:


وَقَالَ رَبُّكُمُ ٱدْعُونِىٓ أَسْتَجِبْ لَكُمْۚ إِنَّ ٱلَّذِينَ يَسْتَكْبِرُونَ عَنْ عِبَادَتِى سَيَدْخُلُونَ جَهَنَّمَ دَاخِرِينَ

"Tuhanmu berfirman: ‘Berdoalah kepada-Ku, niscaya akan Aku perkenankan bagimu.’ Sesungguhnya orang-orang yang menyombongkan diri dari menyembah-Ku akan masuk neraka Jahanam dalam keadaan hina." (QS. Ghāfir [40]: 60)


Berdoa adalah wujud penghambaan tertinggi seorang hamba kepada Allah Swt. Kita sebagai manusia adalah makhluk yang lemah dan selalu bergantung kepada Dzat Yang Maha Kuasa. Ketergantungan mutlak ini adalah inti dari ibadah, sebagaimana dijelaskan dalam sabda Nabi :


الدُّعَاءُ مُخُّ العِبَادَةِ

"Doa adalah inti ibadah." (HR. at-Tirmiżī)


Ini menunjukkan bahwa doa bukan sekadar permintaan seorang hamba, melainkan juga esensi dari ibadah dan penghambaan itu sendiri.


Pemahaman ini bisa ditelaah dengan mafhum al-mukhālafah. Ketika seorang hamba merasa tidak membutuhkan doa kepada Allah, itu merupakan awal dari kesombongan. Sebab, merasa tidak butuh doa berarti merasa paling kuat, seolah-olah bisa segalanya tanpa bergantung kepada Allah. Ini adalah kesalahan besar, bahkan bisa mendatangkan kemurkaan-Nya, sebagaimana ditegaskan dalam Hadis:


"مَنْ لَمْ يَسْأَلِ اللّٰهَ يَغْضَبْ عَلَيْهِ"


"Barang siapa tidak meminta kepada Allah, maka Allah akan murka kepadanya." (HR. At-Tirmidzi)


Mengapa Doaku Tak Dikabulkan?


Pertanyaan ini sering muncul. Padahal kita sudah berdoa sepenuh hati, berkali-kali. Mengapa belum juga dikabulkan? Bukankah kita diperintahkan Allah untuk berdoa? Lalu untuk apa berdoa jika tidak dikabulkan?


Imām Fakhruddīn ar-Rāzī dalam Tafsīr al-Kabīr menjelaskan bahwa doa pasti dikabulkan, namun dengan syarat: harus sesuai dengan ḥikmah dan maṣlaḥah. Jika sesuatu yang diminta ternyata buruk menurut ilmu Allah — meski tampak baik di mata kita — maka Allah tidak akan memberikannya. Karena Dia Maha Penyayang, bukan Maha Penurut.


Ar-Rāzī juga membagi doa menjadi dua bentuk:


1. Doa dengan Lisan


"Barang siapa berdoa kepada Allah, sementara hatinya masih bergantung pada harta, jabatan, atau makhluk, maka sejatinya ia tidak berdoa kepada Allah kecuali dengan lisannya."


Banyak lidah yang berdoa, tapi hati masih berpaling. Doa semacam ini lemah, karena bukan datang dari totalitas jiwa. Kadang hanya sekadar rutinitas, atau formalitas. Tentu doa yang demikian tidak akan dikabulkan oleh Allah.


2. Doa dengan Hati


"Adapun orang yang berdoa dan mengarahkan hatinya kepada Allah semata, tidak memandang sedikit pun kepada selain-Nya, maka itulah doa sejati yang layak dikabulkan."


Doa seperti ini tidak selalu berbentuk kalimat panjang. Bisa berupa napas panjang, isak tangis dalam diam-diam, atau munajat sunyi di sepertiga malam. Tapi justru itulah doa hati, yang tidak terucap namun lebih jujur.


Apakah Allah Tak Mampu Mengabulkan?


Tidak dikabulkannya doa bukan karena Allah lemah, tetapi karena Allah lebih tahu apa yang terbaik. Kita melihat dengan mata pendek, sedang Allah melihat dengan ilmu azali. Apa yang kita anggap baik belum tentu baik menurut-Nya.


Allah lebih tahu skenario terbaik untuk hamba-Nya, dan kapan waktu terbaik untuk memberikannya. Maka jangan buru-buru menyimpulkan: "Allah tidak mengabulkan doaku."


Karena bisa jadi, doa yang kita panjatkan:


  • Dikabulkan doanya, tapi dalam bentuk lain.
  • Atau ditunda karena waktu sekarang belum tepat.
  • Atau diubah menjadi ampunan, keselamatan, atau penolak balak.

Sebagaimana sabda Nabi :


ما من مسلم يدعو الله بدعوة ليس فيها إثم ولا قطيعة رحم إلا أعطاه الله بها إحدى ثلاث: إما أن تُعَجَّلَ له دعوته، وإما أن يدخرها له في الآخرة، وإما أن يصرف عنه من السوء مثلها

"Tidaklah seorang Muslim berdoa kepada Allah dengan doa yang tidak mengandung dosa dan tidak memutus silaturahmi, kecuali Allah akan memberinya salah satu dari tiga hal: dikabulkan segera, disimpan untuk akhiratnya, atau dijauhkan darinya keburukan yang sebanding."
(HR. Aḥmad dan al-Bukhārī dalam al-Adab al-Mufrad)


Sejatinya Doa Tak Ditolak, Hanya Ditunda


Ibnu ‘Aṭā’illah as-Sakandarī dalam al-Ḥikam menulis nasihat agung:


لَا يَكُنْ تَأَخُّرُ الْعَطَاءِ مَعَ الْإِلْحَاحِ فِي الدُّعَاءِ مُوجِبًا لِيَأْسِكَ، فَهُوَ ضَمِنَ لَكَ الْإِجَابَةَ فِيمَا يَخْتَارُهُ لَكَ، لَا فِيمَا تَخْتَارُهُ لِنَفْسِكَ، وَفِي الْوَقْتِ الَّذِي يُرِيدُ، لَا فِي الْوَقْتِ الَّذِي تُرِيدُ


"Jangan sampai keterlambatan datangnya pemberian dari Allah, padahal kamu telah bersungguh-sungguh dalam berdoa, membuatmu putus asa. Sebab Allah telah menjamin pengabulan doa, namun dalam apa yang Dia pilihkan untukmu, bukan dalam apa yang kamu pilih untuk dirimu. Dan pada waktu yang Dia kehendaki, bukan pada waktu yang kamu kehendaki."


Teruslah Berdoa


Doa adalah ibadah seorang hamba. Sedangkan ijabah adalah hak Allah. Maka tugas kita hanyalah berdoa dan terus menggantungkan harap pada-Nya. Jangan mengukur dikabulkannya doa dengan cepat atau lambatnya. Ukurlah dengan kedekatan hati dan kebergantungan diri pada Allah.


Teruslah berdoa. Karena bisa jadi, jawaban Allah bukan “ya”, bukan “tidak”, tapi “tunggu”. Dan yang bersedia menunggu dengan yakin — sejatinya sudah dikabulkan.


Wallāhu a‘lam.

 

Penulis: Ziyad Mubarok
(Mahasiswa Univ. Al Azhar, Mesir/Pemred Kristal 2019/2020). Bisa disapa via Instagram @ibn.mubarok09

Tidak ada komentar:

Diberdayakan oleh Blogger.