Forum Lintas Iman Grobogan Bahas Perempuan, Alam, dan Perjuangan
Grobogan, kristalmedia.net - Forum Lintas Iman Grobogan kembali mengadakan diskusi rutin bulanan dengan tema "Perempuan, Alam, dan Perjuangan" pada hari Senin (6/10/2025). Dalam diskusi edisi ketiga ini, hadir sebagai panelis adalah Bunda Rita, Pembina Gusdurian Grobogan dan Wahyu Dwi Pranata, aktivis lingkungan.
Ada Campur Tangan Manusia dalam Bencana
Dalam pemaparannya, Bunda Rita, menekankan pentingnya
mengenali alam dan bumi dengan mengambil jarak dan merefleksikan kejadian yang
ada. Bunda Rita menyoroti bencana alam banjir yang sering terjadi di Purwodadi,
Grobogan, dan menghubungkannya dengan kerusakan lingkungan dan kapitalisme.
Seperti banjir yang sekarang rutin terjadi tiga hingga empat
kali dalam setahun. Banjir tersebut bukan hanya disebabkan oleh curah hujan
yang tinggi, tetapi juga karena rusaknya hutan di daerah hulu.
“Seperti kasus banjir di Desa Cingkrong, kita harus
berani jujur bahwa bukan hanya karena hujan yang berlebih kemudian banjir
terjadi, tapi karena rusaknya hutan di daerah hulu yang ditanami jagung dan
pendangkalan sungai," ujarnya.
Sementara itu, panelis kedua, Wahyu Dwi Pranata, menyatakan
bahwa bencana banjir di Kabupaten Grobogan, khususnya di daerah Purwodadi Kota
disebabkan oleh salah kelola rencana tata ruang kota. Selain itu juga
disebabkan oleh geomorfologi Purwodadi yang seperti lembah yang diapit dua
sungai besar, yaitu sungai Lusi di sisi utara dan sungai Serang di sebelah
barat. Kemudian, sungai ini bertemu di bendung di kecamatan Klambu.
“Ketika hujan di kawasan hulu sungainya secara bersamaan,
ya sudah. Banjir tidak terhindarkan. Apalagi sistem buka tutup bendung Klambu
tidak diperbaiki. Sangat menguntungkan daerah bawah seperti Demak, Kudus dan
Pati,” jelasnya.
Mencari Solusi Bersama
Wahyu juga menyampaikan tentang bagaimana seharusnya kita
merespons bencana banjir, yaitu dengan membuat bangunan rumah atau gedung yang
adaptif terhadap bencana, seperti rumah panggung dan menggunakan material yang
ramah lingkungan.
"Kita bisa melihat rumah kayu jaman dulu banyak yang geladak panggung. Tujuannya ketika banjir, tetap ada area resapan yang besar. Ketika kemarau juga air tanah kembali terisi dan tidak kekurangan air," jelas Wahyu.
“Dari sisi material kita bisa menggunakan elemen yang total jejak
karbon produksinya rendah. Dan materialnya mampu diproduksi ulang di sekitar
kita. Cepat tumbuh atau sustainable material,” pungkasnya.
Pendeta GKI, Rita Dwi Lestari menambahkan bahwa sebenarnya
ada harapan untuk memperbaiki bencana ini jika kita mau belajar dan
memperbaiki. Yaitu dengan cara mengambil hasil alam secukupnya, merawat alam
yang rusak dan menjalin hubungan timbal balik yang baik antara manusia dengan
alam.
"Kita ambil secukupnya, bumi yang menghasilkan harus
dipandang sebagai kehidupan yang saling membutuhkan antara manusia, perempuan,
dan Bumi," katanya.
Sejalan dengan Rita Dwi, Ki Atma dari GKJ juga menekankan pentingnya mengembalikan perempuan sebagai aktor yang penuh cinta kasih dan merawat kehidupan. Ki Atma menyitir perkataan aktivis lingkungan dari Sukolilo Pati, Kang Gunretno, bahwa “Ibu bumi sampun maringi, Ibu bumi ojo dilarani, ibu bumi kang ngadili.” Ibu bumi sudah memberi, ibu bumi jangan disakiti dan ibu bumi yang akan mengadili.
Kang Gunretno bersama masyarakat Sukolilo Pati
mempertahankan tanah mereka dari pembangungan pabrik semen di Kawasan Pegunungan
Kars Kendeng. [FHM]


Tidak ada komentar: