Kodifikasi Al-Qur'an: Dari Wahyu ke Mushaf Resmi
Al-Qur'an memiliki sejarah panjang dalam perjalanannya
hingga sampai ke tangan kita sekarang ini. Dari yang semula hanya dihafal dan
ditulis dalam lembaran-lembaran pelepah kurma, hingga kini bisa kita nikmati
dalam bentuk cetakan yang nyaman dibaca. Fase penulisan dan pengumpulan
Al-Qur'an inilah yang kemudian disebut dengan kodifikasi Al-Qur'an, dan telah
menjadi pembahasan penting dalam disiplin Ilmu Ulūm al-Qur’ān.
Pembahasan tentang kodifikasi Al-Qur'an menjadi hal yang
wajib dalam kitab-kitab yang membahas Ulūm al-Qur’ān seperti Al-Itqān fī
‘Ulūm al-Qur’ān karya al-Suyūṭī, Al-Burhān fī ‘Ulūm al-Qur’ān karya
al-Zarkashī, dan Manāhil al-‘Irfān karya al-Zarqānī.
Secara etimologis, istilah "jam‘ al-Qur’ān" (جمع القرآن) berasal dari kata kerja
"jama‘a" (جمع) yang berarti mengumpulkan, menghimpun, atau menyatukan.
Sedangkan dalam konteks istilah Ulūm al-Qur’ān, para ulama mendefinisikannya
sebagai proses pengumpulan ayat-ayat Al-Qur’an baik dalam bentuk hafalan di
dada (ṣudūr) maupun dalam bentuk tulisan pada lembaran-lembaran (suḥuf).
Dalam Kitab Al-Bayan fi Mabahits min Ulum Al-Qur’an, Abdul
Wahhab Ghuzlan membedakan jam‘ al-Qur’ān menjadi dua bentuk: pertama, jam‘
fī al-ṣudūr yaitu penghafalan dan penjagaan Al-Qur’an dalam hati para
sahabat; kedua, jam‘ fī al-suḥuf yaitu pencatatan dan penulisan dalam
bentuk dokumen tertulis. Kedua aspek ini menjadi dasar penting dalam validasi
wahyu ketika dikodifikasi oleh para khalifah setelah wafatnya Rasulullah ﷺ.
Secara umum, kodifikasi Al-Qur'an dapat dikategorikan
menjadi tiga fase utama: fase penulisan Al-Qur'an pada masa Nabi, fase
pengumpulan Al-Qur'an pada masa Abu Bakar, dan fase pembukuan Al-Qur'an pada
masa Utsman bin ‘Affān. Masing-masing fase tersebut memiliki karakteristik
tersendiri.
1. Masa Nabi Muhammad ﷺ
Fase ini lebih berfokus pada penulisan wahyu Al-Qur'an
secara umum serta penempatan ayat dan surah berdasarkan petunjuk Nabi ﷺ. Hal ini diperkuat dengan hadis dari Zaid bin Tsabit:
عَنْ زَيْدِ بْنِ ثَابِتٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ: كُنَّا عِندَ
رَسُولِ اللَّهِ ﷺ نُؤَلِّفُ الْقُرْآنَ مِنَ الرِّقَاعِ، فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ
ﷺ: ضَعُوا هَذِهِ الْآيَةَ فِي السُّورَةِ الَّتِي يُذْكَرُ فِيهَا كَذَا وَكَذَا
"Kami berada di sisi Rasulullah ﷺ
dan sedang menyusun Al-Qur'an dari potongan-potongan (lembaran-lembaran), maka
Rasulullah ﷺ bersabda: 'Letakkanlah ayat ini dalam surah yang disebutkan
tentang ini dan itu.'"
Pada fase ini, para sahabat terbagi menjadi dua kelompok:
ada yang langsung menghafal ayat ketika mendengarnya dari Rasulullah ﷺ, sebagaimana kebiasaan bangsa Arab dalam menghafal nasab dan
syair. Ada pula yang menuliskan ayat-ayat tersebut di berbagai media tulis saat
itu, seperti kulit, pelepah kurma, batu, tulang, dan lain sebagainya. Cara ini
dinilai lebih mudah dan lebih tepercaya dari segi keaslian wahyu. Nabi tidak
sendiri dalam penulisan wahyu ini, beliau dibantu oleh para kuttāb al-waḥy
(penulis wahyu) seperti Ubay bin Ka‘b, Mu‘ādz bin Jabal, Abū Zayd, dan Zaid bin
Tsabit.
Dalam Kitab Mudazakarah fi Ulumil Quran karya Syekh
Mahmud Abu Daqiqah, media tulis yang digunakan para sahabat antara lain: العُسُب (pelepah kurma), اللِّخَاف
(batu putih pipih), الأَكْتَاف (tulang belikat), الرِّقَاع
(lembaran kulit atau kain), dan الأَدِيم (kulit yang disamak).
Dengan demikian, fase ini lebih mengarah pada penulisan dan
pengurutan ayat dan surah, bukan pengumpulan atau pembukuan secara sistematis.
Salah satu alasannya adalah keterbatasan media tulis saat itu serta karena
sebagian ayat masih mungkin terkena nasakh hukum atau tilāwah oleh Rasulullah ﷺ.
2. Masa Khalifah Abū Bakar ra.
Setelah fase penulisan di masa Nabi, masa Abū Bakar lebih
dikenal sebagai fase pengumpulan Al-Qur'an. Pada masa ini, tugas utama para
sahabat adalah mengumpulkan wahyu-wahyu Al-Qur'an yang sebelumnya telah ditulis
di berbagai media seperti batu, tulang, pelepah kurma, dan lainnya.
Latar belakang kodifikasi ini adalah kekhawatiran akan
hilangnya Al-Qur'an setelah wafatnya banyak penghafal (qurrā’) dalam
pertempuran melawan kaum murtad dan nabi palsu, terutama dalam Perang Yamāmah.
‘Umar bin al-Khaṭṭāb menyampaikan kekhawatiran ini kepada Abū Bakar dan
mengusulkan pembentukan tim untuk mengumpulkan Al-Qur'an.
Awalnya Abū Bakar ragu karena khawatir melakukan sesuatu
yang tidak dilakukan Rasulullah ﷺ. Namun setelah
mempertimbangkan maslahat dan bahaya besar jika tidak dilakukan, beliau
menyetujui usulan ‘Umar.
Abū Bakar dan ‘Umar kemudian memanggil Zaid bin Tsabit, yang
dikenal sebagai penulis wahyu dan ḥāfiẓ Al-Qur'an. Zaid berkata:
فَوَاللَّهِ! لَوْ كَلَّفُونِي نَقْلَ جَبَلٍ مِنَ الْجِبَالِ مَا
كَانَ أَثْقَلَ عَلَيَّ مِمَّا أَمَرَنِي بِهِ مِنْ جَمْعِ الْقُرْآنِ
"Demi Allah! Sekiranya mereka memerintahkan aku untuk
memindahkan sebuah gunung dari tempatnya, maka itu tidak akan lebih berat
bagiku dibandingkan perintah mereka untuk mengumpulkan Al-Qur'an."
Setelah mempertimbangkan dan menerima bujukan, Zaid pun
menyanggupi. Ia mengumpulkan Al-Qur'an berdasarkan dua syarat: (1) ayat
tersebut harus sudah ditulis pada masa Nabi ﷺ,
dan (2) harus dihafal oleh para sahabat serta disaksikan oleh minimal dua orang
saksi.
Menurut keterangan dalam Kitab Manāhil al-‘Irfān,
proses verifikasi ini dilakukan dengan sangat ketat agar tidak ada satu ayat
pun yang luput atau tertukar. Hasil pengumpulan ini kemudian disimpan oleh Abū
Bakar, lalu berpindah kepada ‘Umar setelah wafatnya beliau, dan kemudian kepada
Ḥafṣah binti ‘Umar setelah ‘Umar wafat.
3. Masa Khalifah ‘Utsmān bin ‘Affān ra.
Setelah Al-Qur'an terkumpul pada masa Abū Bakar dengan
mempertahankan aspek tujuh huruf (sab‘ah aḥruf) sebagaimana yang
diajarkan Nabi ﷺ, muncul perbedaan bacaan antar sahabat di masa ‘Utsmān. Setiap
kelompok merasa bahwa bacaan merekalah yang paling benar, bahkan sampai
mengafirkan pihak lain yang berbeda bacaan.
Kekhawatiran akan perpecahan umat, sebagaimana yang terjadi
pada umat Yahudi dan Nasrani, membuat ‘Utsmān mengambil tindakan. Beliau
meminta mushaf asli yang ditulis pada masa Abū Bakar dari Sayyidah Ḥafṣah, lalu
membentuk tim untuk menyalin ulang Al-Qur'an dengan rasm yang baku dan
sesuai dengan dialek Quraisy.
Dalam kitab Al-Itqān, tim penyalin mushaf tersebut
terdiri dari Zaid bin Tsabit, ‘Abdullah bin Zubair, Sa‘īd bin al-‘Āṣ, dan
‘Abdurraḥmān bin al-Ḥārith. Mushaf ini kemudian disalin menjadi beberapa
eksemplar dan dikirim ke berbagai wilayah Islam.
‘Utsmān kemudian menetapkan bahwa mushaf resmi umat Islam
adalah mushaf hasil salinan ini. Mushaf-mushaf lain yang tidak sesuai dengan rasm
ini diperintahkan untuk dibakar demi menjaga kesatuan umat dan mencegah terjadinya
taḥrīf.
Langkah ini diambil karena khawatir perbedaan qirā’āt
yang awalnya ditujukan untuk memudahkan, justru menjadi fitnah besar dan
mengancam keutuhan wahyu. Dengan langkah ini, ‘Utsmān menyelaraskan bacaan kaum
Muslimin dengan mushaf yang baku. Wallāhu a‘lam. []
Penulis: Ziyad Mubarok (Mahasiswa Univ. Al Azhar, Mesir/Pemred Kristal 2019/2020)
Tidak ada komentar: