Surga Tanpa Tanda Panah



Malam itu, di sudut kedai kopi yang biasa mereka datangi sejak masa kuliah, tiga cangkir kopi mengepulkan uap pelan di atas meja. Di luar, hujan mengguyur kota seperti denting argumen yang tak selesai.

 

Salma menyandarkan punggung, kedua lengannya bersilang, matanya tajam mengarah ke Reza yang duduk bersandar santai seolah baru saja melontarkan sesuatu yang tidak memantik api. Di sampingnya, Nabila masih menatap layar ponsel, tapi telinganya waspada, ia tahu kalimat itu akan segera memercikkan debat panjang.

 

“Serius, Sal,” kata Reza, nada suaranya datar, tapi matanya menantang, “Nggak usah dibawa rumit. Hadisnya jelas. Kalau perempuan taat sama suaminya, surga terbuka lebar buat dia. Simple. Yang ribet itu justru kalian yang suka mempertanyakan.”

 

Salma tertawa kecil, getir. “Simple buat kamu, yang nggak dituntut tunduk. Kamu anggap jalan ke surga itu cuma soal formalitas doang, ya? Taat asal taat, tanpa mikirin adil atau nggaknya situasi?”

 

Reza mengangkat bahu, santai. “Bukan aku yang bilang, Sal. Itu sabda Nabi. Jangan mentang-mentang kamu baca tafsir kontemporer jadi semua hadis ditafsir ulang. Kalau Islam udah ngatur, ya tinggal ikut.”

 

Nabila menurunkan ponsel. Wajahnya datar, tapi matanya penuh amarah yang terkontrol. “Masalahnya bukan Hadisnya, Za. Tapi gimana kamu dan banyak laki-laki lain selalu pakai Hadis itu untuk menjustifikasi posisi dominan. Seolah-olah ridha Allah itu cuma bisa dicapai perempuan lewat ridha suami, titik. Padahal, konteks sosial dan tanggung jawab suami juga nggak kecil. Tapi kenapa itu jarang disorot?”

 

Reza tertawa, pendek. “Kalian ini kebanyakan mikir. Perempuan yang baik itu nggak ribet. Nurut. Udah. Di situlah berkahnya.”

 

Salma mencondongkan tubuh ke depan, suaranya menukik. “Dan kamu pikir surga cuma milik perempuan yang nggak ‘ribet’? Kamu tahu nggak, hadis itu disampaikan dalam masyarakat patriarkal, dan maknanya bisa jadi jauh lebih dalam dari pada sekadar ‘taat suami’? Gimana kalau taat itu justru bermakna partisipasi aktif dalam membangun rumah tangga yang adil? Gimana kalau ridha itu bukan soal patuh 'faqoth', tapi justru kerja sama dua arah?”

 

Hening sejenak.

 

Di luar, hujan turun makin deras. Tapi di dalam kedai itu, badai baru saja dimulai.

 

Reza menggeser cangkir kopinya, napasnya terdengar lebih berat dari biasanya. "Kalau semua tafsir kamu bongkar seenaknya, nanti apa bedanya kamu sama liberal sekuler yang cuma pakai agama kalau cocok aja?"

 

Salma mengerutkan alis. "Bongkar seenaknya? Justru karena aku menghormati agama, aku gak mau menelan teks tanpa menggali konteks. Kamu tahu nggak, ada banyak ulama perempuan yang sejak dulu menantang penafsiran yang bias gender? Mereka nggak keluar dari jalur syariat, tapi justru menjaga esensi wahyu dari penyempitan makna."

 

Nabila mengangguk. “Dan kamu pikir selama ini siapa yang menulis tafsir, siapa yang menafsir Hadis? Mayoritas laki-laki dari struktur masyarakat patriarkal. Nggak heran kalau ayat atau Hadis tentang perempuan sering diposisikan seolah-olah perempuan itu bawahan."

 

Reza menarik napas, kelihatan mulai kehilangan pijakan. “Tapi tetap aja, itu sabda Nabi. Hadis sahih. Kita nggak bisa debat sama Nabi.”

 

Salma menatapnya tajam, kali ini suaranya melunak tapi menikam. “Kita nggak sedang debat sama Nabi, Za. Kita sedang bertanya pada diri kita sendiri: apakah kita benar-benar memahami sabda beliau sebagaimana mestinya? Atau cuma mengambil bagian yang cocok buat menegaskan posisi dominan kita?”

 

Sunyi.

 

Reza terdiam, tatapannya mengambang. Untuk sesaat, ia tampak seperti anak kecil yang baru sadar bahwa buku cerita yang ia yakini sejak kecil mungkin memiliki lebih dari satu akhir.

 

“Sal...” ia akhirnya bersuara, pelan. “Jadi menurut kamu, ridha suami bukan jalan utama ke surga?”

 

Salma menghela napas. “Bukan. Bukan itu maksudnya. Aku percaya jalan ke surga itu lewat keadilan, tanggung jawab, dan ketakwaan. Hadis itu bukan peta satu arah. Nabi sedang menyampaikan keutamaan dalam konteks sosial tertentu. Tapi kita hidup di zaman yang berbeda. Kita perlu adil membaca, bukan asal setuju.”

 

Nabila menyambung, dengan lembut tapi tegas. “Dan suami juga punya tanggung jawab berat. Rasul sendiri bersabda: sebaik-baik kalian adalah yang paling baik kepada istrinya. Tapi kenapa itu nggak pernah jadi Hadis unggulan di khutbah nikah?”

 

Tiba-tiba, Reza tertawa kecil. Bukan tawa mengejek, tapi tawa getir yang terdengar seperti pengakuan. “Oke... aku kayaknya baru sadar, aku selama ini cuma ngulang-ngulang yang aku dengar dari ceramah atau forum tanpa mikir panjang.”

 

Salma tersenyum tipis. “Kita semua pernah di posisi itu. Tapi agama ini besar, Za. Ia tidak rapuh oleh pertanyaan. Justru ia bertumbuh saat kita jujur dalam mencarinya.”

 

Di luar, hujan mulai reda. Di dalam, pertarungan suara berubah jadi ruang perenungan.

 

Tiga cangkir kopi tersisa setengah.

 

Reza meraih jaketnya, menatap ke luar jendela yang masih basah oleh sisa hujan. “Aku rasa... Aku perlu baca ulang banyak hal. Bukan cuma Hadis. Tapi juga diriku sendiri.

 

Nabila hanya mengangguk. “Nggak semua orang berani ngomong kayak gitu. Tapi langkah paling besar itu bukan hafal dalil naqli aja, tapi mau dan berani menafsir ulang diri sendiri.”

 

Salma menoleh, menatap Reza lembut. “Kita nggak butuh menang dalam debat ini, Za. Tapi kita perlu jadi lebih manusiawi saat bicara tentang Tuhan.”

 

Mereka berdiri hampir bersamaan. Tak ada pelukan, tak ada janji untuk lanjutkan obrolan itu besok. Tapi langkah mereka terasa lebih tenang, lebih ringan, seolah masing-masing membawa pulang bukan hanya argumen, tapi juga nyala lilin temaram: semacam keinginan untuk melihat kebenaran dari sisi yang selama ini diabaikan.

 

Di depan kedai, lampu jalan memantulkan cahaya di genangan.

 

Malam menyisakan sunyi. Tapi kepala mereka penuh tanya. Dan tanya itulah yang pelan-pelan membentuk ulang keimanan.

 

Penulis: Adha Nafi'atur Rofiah, bisa disapa di Instagram @tokosulap__
Alumni MABTU 2018, Dewan Redaksi El Kataba 2016

Tidak ada komentar:

Diberdayakan oleh Blogger.